UU
Perlindungan Konsumen Tentang Bahan Makanan
Makanan
sebagai kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya merupakan hak azasi setiap
rakyat Indonesia harus senantiasa tersedia cukup waktu, aman, bermutu, bergizi
dan beragam dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat. Untuk
mencapai semua itu, perlu diselenggarakan suatu sistim pangan yang memberikan
perlindungan baik bagi pihak yang memproduksi maupun yang mengkonsumsi makanan,
serta tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat. Suatu produk makanan
untuk sampai kepada konsumen tidak terjadi secara langsung tetapi melalui jalur
pemasaran yaitu pelaku usaha atau produsen (media perantara). Akibat proses
industrialisasi dalam memproses produk makanan timbul permasalahan sehubungan
dengan adanya barang-barang atau produk makanan yang mengandung bahan-bahan
berbahaya yang merugikan pihak konsumen, baik dalam arti finansial maupun non
finansial bahkan kerugian jiwa.
Perlindungan
hukum bagi konsumen makanan menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang
Pangan belum terwujud sebagaimana mestinya, karena ketiadaan pengetahuan
konsumen yang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan yang
mengatur standarisasi mutu makanan. Sehingga konsumen tidak dapat mempergunakan
hak-haknya secara wajar untuk mendapatkan penggantian kerugian dari produsen.
Upaya produsen mewujudkan perlindungan hukum bagi konsumen dengan jalan
memproduksi makanan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan Undang-undang
dengan memperhatikan mutu pangan, sarana produksi dan distribusi serta kondisi
produknya yang beredar di pasaran.
Di Indonesia hanya ada satu undang –
undang yang mengatur perlindungan konsumen yaitu UU No. 8 tahun 1999.
Hak-hak konsumen diatur dalam pasal 4 UU No. 8 tahun 1999.
Hak-hak konsumen yang dimaksud
adalah:
- Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa
- Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta
mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar
dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan
- Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa
- Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang
dan/atau jasa yang digunakan
- Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut
- Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen
- Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan
jujur serta tidak diskriminatif
- Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti
rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya
- Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Mengenai
hal tersebut maka dalam Pasal 19 angka (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa, ”pelaku usaha bertanggungjawab
memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen.
Pasal
tersebut di atas mengatur tentang tanggung jawab pelaku usaha terhadap produk
yang dihasilkan atau diperdagangkannya. Dikatakan pelaku usaha bertanggungjawab
memberikan ganti rugi atas: kerusakan, pencemaran, kerusakan dan kerugian
konsumen, pencemaran dan kerugian konsumen. Pasal 41 angka (1) Undang-Undang
No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan dikatakan “badan usaha yang memproduksi pangan
olahan untuk diedarkan dan atau orang perorangan dalam badan usaha diberi
tanggung jawab terhadap jalannya usaha tersebut bertanggungjawab atas keamanan
pangan yang diproduksinya terhadap kesehatan orang lain yang mengkonsumsi makanan
tersebut”. Pasal 41 angka (1) tersebut menegaskan bahwa pelaku usaha pangan
baik berupa badan usahanya maupun orang perorangan yang diberi tanggung jawab
atas usaha itu, adalah bertanggungjawab atas keamanan pangan yang
diproduksinya. Pasal ini memberi penegasan bahwa harus ada pihak yang
bertanggung jawab atas keamanan pangan (produk), jika ternyata menimbulkan
kerugian kepada pihak lain (konsumen).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar